Mengapa Literasi Finansial Penting bagi Masyarakat Dayak? Inilah Daya Tarik Uang Virtual di Era Digital
Keputusan PPATK memicu dimulainya uang virtual di era digiral. Ilustrasi by AI. |
Oleh Masri Sareb Putra
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, masyarakat Dayak perlu segera melek literasi finansial. Peristiwa pembekuan rekening atau status dormant oleh PPATK telah menjadi peringatan nyata bahwa kendali atas aset tidak sepenuhnya berada di tangan nasabah.
Peristiwa dormant ini ini menandai era baru:
saatnya mempertimbangkan sistem keuangan alternatif yang lebih inklusif,
terbuka, dan berbasis teknologi. Salah satu opsi yang kian menarik perhatian
adalah uang virtual.
Literasi Finansial Dayak
Uang virtual, khususnya yang berbasis teknologi blockchain, dinilai mampu memberikan solusi keuangan yang tidak hanya efisien tetapi juga merdeka dari ketergantungan pada bank konvensional dan otoritas pusat seperti Bank Sentral.
Berikut tiga alasan mengapa uang virtual
menjadi alternatif strategis bagi masyarakat Dayak dan masyarakat Indonesia
secara umum:
1. Desentralisasi dan Keamanan Tingkat Tinggi
Blockchain menawarkan sistem penyimpanan aset yang tidak dikendalikan oleh lembaga terpusat seperti bank atau PPATK. Setiap individu memegang private key sebagai bukti kepemilikan dan kendali mutlak atas asetnya. Ini menghilangkan risiko intervensi sepihak seperti pembekuan rekening.
Dengan enkripsi kriptografis dan mekanisme konsensus jaringan, sistem
blockchain lebih tahan terhadap manipulasi eksternal. Dalam konteks masyarakat
yang trauma terhadap sentralisasi keuangan, fitur ini menjadi sangat relevan
dan menarik.
2. Efisiensi Transaksi dan Minim Biaya
Uang virtual memungkinkan transaksi langsung antar pengguna
(peer-to-peer) dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan sistem
perbankan tradisional. Sebagai contoh, transaksi Bitcoin umumnya hanya
memerlukan biaya antara 1 hingga 2 dolar AS, dibandingkan dengan biaya transfer
antar bank internasional yang bisa mencapai 10 sampai 20 dolar AS. Selain itu,
tanpa memerlukan kantor fisik, proses transaksi menjadi lebih cepat dan tidak
terhambat oleh birokrasi.
3. Aksesibilitas Global dan Inklusivitas
Dengan hanya bermodal internet dan dompet digital, siapa pun dapat mengakses uang virtual dari mana saja. Hal ini sangat relevan bagi masyarakat di wilayah pedalaman Borneo yang selama ini sulit dijangkau layanan perbankan. Juga bagi pekerja migran dan pelaku UMKM Dayak yang memiliki kebutuhan transaksi lintas batas.
Kemudahan akses ini sangat cocok dengan gaya hidup generasi muda yang telah terbiasa dengan platform digital dan aplikasi keuangan berbasis mobile.
Literasi Finansial Adalah Kunci Kemandirian Ekonomi Masyarakat Dayak
Kini saatnya masyarakat Dayak tak hanya kuat secara budaya, tetapi juga tangguh dalam sistem ekonomi baru.
Literasi finansial adalah
pintu masuk menuju kemandirian ekonomi berbasis teknologi. Menguasai konsep dan
praktik uang virtual bukan sekadar mengikuti tren, tetapi menjadi langkah
strategis agar masyarakat tidak tertinggal dalam revolusi ekonomi digital.
Literasi finansial sesungguhnya bukanlah hal baru bagi masyarakat Dayak. Benihnya sudah tertanam sejak lama dalam tradisi dan kearifan lokal. Menyimpan padi di lumbung (*dango*) adalah salah satu wujud nyata dari literasi finansial tradisional.
Padi, yang menjadi sumber kehidupan utama, tidak hanya dianggap sebagai makanan, tetapi juga sebagai tabungan yang memiliki nilai strategis. Pengelolaan padi dilakukan dengan penuh perhitungan: kapan dimakan, kapan dipakai untuk acara adat, dan kapan disimpan untuk menghadapi masa sulit. Di masa kini, ketika harga beras melambung tinggi, seorang Dayak yang memiliki cadangan padi di dango akan merasakan manfaat langsung dari “tabungan” yang ia rawat dengan sabar.
Selain menyimpan padi, prinsip pemanfaatan sumber daya alam secukupnya juga mencerminkan benih literasi finansial yang kokoh. Orang Dayak secara turun-temurun diajarkan untuk mengambil hasil hutan, ikan, atau hasil ladang sesuai kebutuhan, tidak berlebihan, dan selalu menyisakan untuk esok. Falsafah ini bukan hanya menjaga kelestarian alam, tetapi juga menciptakan keseimbangan antara konsumsi dan cadangan. Dengan begitu, keberlanjutan hidup terjaga, dan risiko kelaparan atau kekurangan dapat diminimalkan tanpa perlu mengandalkan pihak luar.
Memasuki era modern, bentuk literasi finansial di kalangan Dayak mengalami transformasi. Dari yang semula berbasis hasil alam, kini berkembang menjadi kemampuan mengelola uang tunai, aset, dan investasi.
Masyarakat mulai terbiasa membuat perencanaan keuangan rumah tangga, membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta memanfaatkan jasa keuangan formal seperti koperasi dan bank. Perubahan ini tidak menghapus nilai-nilai lama, melainkan mengadaptasinya dalam bentuk baru yang relevan dengan ekonomi pasar.
Pergeseran ini juga menuntut keterampilan baru, seperti memahami bunga pinjaman, menghitung keuntungan usaha, dan mengelola tabungan untuk pendidikan maupun kesehatan. Koperasi kredit yang banyak tumbuh di Borneo menjadi contoh bagaimana nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan yang telah ada sejak dahulu dipadukan dengan sistem pengelolaan keuangan modern. Dengan begitu, literasi finansial tidak hanya menjadi kemampuan individu, tetapi juga menjadi kekuatan kolektif yang menggerakkan ekonomi komunitas.
Pada akhirnya, literasi finansial bagi masyarakat Dayak bukanlah sekadar konsep ekonomi modern yang baru dikenalkan dari luar, melainkan kelanjutan dari tradisi pengelolaan sumber daya yang telah diwariskan leluhur.
Dari dango yang penuh padi hingga rekening tabungan di bank, prinsip dasarnya sama: mengelola apa yang dimiliki dengan cerdas, bijak, dan berorientasi pada masa depan. Inilah warisan budaya yang jika terus dirawat dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, akan menjadikan masyarakat Dayak semakin mandiri dan sejahtera di tanahnya sendiri.
Jakarta, 8 Agustus 2025