Landak en Tajan: Sebuah Istilah, Dua Wilayah, Satu Lensa Kolonial
Penduduk Landak dan Tayan dalam sebuah upacara adat, Naik Dango. Dok. penulis. |
Jika kita menelusuri arsip-arsip pemerintah Hindia Belanda dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, satu istilah sering muncul dalam berbagai laporan, peta, dan tulisan etnografis: Landak en Tajan (Landak dan Tayan).
Dua wilayah ini, yang kini berada di Kalimantan Barat,
kerap diposisikan sebagai satu entitas geografis dan budaya.
Namun, benarkah keduanya identik?
Mari kita telaah bagaimana dan mengapa Landak dan Tayan
disatukan dalam narasi kolonial. Apa pengaruhnya bagi cara kita memahami
sejarah dan identitas lokal hari ini?
M.C. Schadee dan Catatan “Kepercayaan Orang Dayak”
Salah satu tokoh penting dalam pembentukan narasi kolonial
tentang Landak dan Tayan adalah M.C. Schadee. Ia adalah kontrolir
(semacam camat kolonial) yang bertugas di wilayah Kalimantan dan menulis karya
berjudul Bijdrage tot de Kennis van den Godsdienst der Dajaks van Landak en
Tajan—yang berarti Sumbangan Pengetahuan tentang Agama Orang Dayak di
Landak dan Tayan.
Schadee menulis dengan gaya ilmiah khas kolonial:
deskriptif, kaku, dan melihat dari luar. Ia mengamati kehidupan spiritual
masyarakat Dayak, mencatat ritus adat, sistem kepercayaan, hubungan dengan roh,
dan praktik penyembuhan tradisional.
Namun, penting diingat: semua catatan itu dibuat bukan
dari suara masyarakat lokal, melainkan dari pandangan orang Eropa yang
meminjam kacamata eksotis atas adat timur.
Mengapa Landak dan Tayan Disatukan?
Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa kolonial menyatukan
Landak dan Tayan secara administratif dan kultural:
- Kemudahan
Birokrasi: Belanda sering menyederhanakan wilayah adat ke dalam satuan
administratif besar. Landak dan Tayan yang berdekatan secara geografis
dianggap mudah dikontrol sebagai satu kesatuan.
- Asumsi
Kultural yang Salah: Karena kedua wilayah dihuni oleh komunitas Dayak
(terutama sub-etnis Kanayatn), dianggap memiliki budaya seragam. Padahal,
secara mikro, keduanya punya ciri khas sendiri dalam dialek, ritus, dan
struktur sosial.
- Narasi
“Kembar Siam” yang Diciptakan: Dalam imajinasi kolonial, penyatuan ini
memperkuat konstruksi orang Dayak sebagai masyarakat adat yang seragam,
tertinggal, dan “butuh diselamatkan”.
Dampak Istilah Ini pada Sejarah Lokal
Satu istilah bisa mengaburkan kenyataan. Penyatuan “Landak
en Tajan” dalam narasi kolonial telah membuat banyak pembaca mengira keduanya
adalah satu komunitas tunggal. Padahal, pemahaman sejarah lokal justru
memerlukan pembacaan yang lebih kontekstual.
Perbedaan struktur adat, jaringan sungai, jalur perdagangan
lokal, serta relasi spiritual masyarakat Tayan dan Landak tidak bisa
disamaratakan begitu saja.
Saatnya Membaca Ulang dan Menulis Ulang
Karya Schadee memang menyimpan banyak data penting, tetapi
kita tidak bisa menerimanya begitu saja. Perlu ada pembacaan kritis dan
penulisan ulang berdasarkan perspektif lokal.
Hari ini, kita punya kesempatan untuk membaca sejarah
dengan mata kita sendiri. Bahkan lebih penting: menulisnya dengan tangan
kita sendiri.
Ke Mana Seri Ini Akan Berlanjut?
Ini adalah tulisan pertama dari seri blog Landak – Tayan
dalam Lensanya Sendiri. Pada seri berikutnya, kita akan membahas bagaimana
istilah “syamanisme” disematkan kepada sistem kepercayaan lokal Dayak,
dan mengapa istilah ini perlu dikaji ulang.
👉 Nantikan Seri minggu depan: “Kepercayaan Leluhur Dayak: Lebih dari Sekadar Syamanisme”
Masri Sareb Putra, M.A.