Dayak Kanayatn menurut Nico Andas Putra

LANDAK POST : Dayak di Kalimantan Barat, yang total subsukunya berbilang angka 151 (Alloy, Albertus, dan Istiany, 2007: 67 - 330) semua asalnya dari Tampun Juah. Suatu wilayah yang disebut "Tanah Semula Jadi". Kini lokusnya berada di wlayah Segumon, Sekayam Hulu, dekat Mongkos, perbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Namun, ada satu subsuku Dayak yang tidak berasal dari Tampun Juah, yakni: Kanayatn. Asal usul Kanayatn bukan dari Tampun Juah. Mereka mempunyai kisah, asal usul serta legenda sendiri.

Baca Landak

Berbicara mengenai asal-usul Suku Dayak Kanayatn, salah satu sub-suku Dayak di Kalimantan, tidaklah gampang. Banyak interpretasi dan analisis mengenai asal-usul keberadaan sub-suku ini, terutama mengenai penamaan suku, apalagi jika dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang menyertainya seperti kepentingan politik etnis. Namun, dengan berbagai interpretasi dan analisis tersebut, berbicara tentang asal-usul sub-suku ini menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan di permukaan.

Dari tradisi lisan berupa cerita asal-usul, dikatakan bahwa suku ini berasal dari Binua Aya' (Benua Besar). Tradisi lisan secara rinci tidak menjelaskan di mana letaknya Binua Aya' ini. 

Tradisi lisan hanya menggambarkan bahwa terjadinya perpindahan penduduk dari Binua Aya' ke Gunung Bawakng, sebuah gunung yang terdapat di Kabupaten Bengkayang.

Gunung Bawakng sampai sekarang diyakini oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai tempat asal-usul suku mereka. Keyakinan ini bersumber dari Mitos Ne' Baruakng Kulup. 

Dalam mitos tersebut, diceritakan bahwa Ne' Baruakng Kulup adalah seorang putra Ne' Jaek. Akibat perbuatannya mencuri padi yang ditanam di Subayatn (surga) untuk talino (manusia), ia diusir oleh ayahnya ke dunia. Dari pengembaraannya ini, menurut cerita, ia mengawini hantu, burung, dan manusia. Dari perkawinannya dengan manusia inilah diyakini kemudian sebagai keturunan orang Dayak Kanayatn.

Sejauh mana kebenaran mitos tersebut? Sejauh mana mitos ini otentik? Atau hanya rekaan belaka sebagai cara untuk menjawab keberadaan manusia dan asal usulnya sehingga dapat diterima dengan akal sehat. 

Kalaupun ada kebenarannya, tetapi sejak kapan? Ini kiranya yang menjadi kesulitan untuk diketahui. Hanya saja kalau kita tarik teori mungkin ada benarnya. 

Baca Landak En Tajan Kembar Siam Dalam Narasi Dan Publikasi Bangsa Kolonial

Gunung Bawakng cukup tepat untuk menjadi hunian manusia ketika jaman es belum mencair pada sekitar 1500 - 3000 sebelum Masehi. Ketinggian gunung ini sekitar 1505 meter dari permukaan laut. Baru ketika es mencair mereka turun dari gunung dan mencari tempat yang cocok untuk tinggal. 

Tetapi apakah mereka sungguh-sungguh berasal dari gunung ini, mengingat ada gunung yang lebih tinggi yaitu Gunung Niut, sekitar 1701 meter dari permukaan laut. Atau memang benar mereka berasal dari Gunung Bawakng, mengingat gunung ini dekat dengan laut, yaitu sekitar 50 km, tetapi sebelumnya mereka berasal dari tempat yang jauh yang disebut Binua Aya', dan emigran ke Gunung Bawakng melewati laut. Tetapi di mana Binua Aya' itu? Inilah pertanyaan yang masih menjadi teka-teki kita.

Dari sumber tradisi lisan pada kalangan Dayak yang berbahasa banana’ atau baahe atau badamea-bajare, kata Kanayatn ditemukan dari kata nganayatn. Ngayatan artinya membawa persembahan kepada Jubata. Orang yang membawa persembahan ini disebut orang Kanayatn.

Ada anggapan lain lagi bahwa suku Dayak ini berdomisili pertama-tama di tepi sungai, terutama pinggiran sungai Kapuas dan Landak. Namun kemudian pindah ke pedalaman dengan mengikuti alur anak Sungai Kapuas atau Landak. 

Mereka pindah karena terdesak oleh pendatang baru dengan berbagai alasan. Ini oleh mereka yang beranggapan demikian dibuktikan dengan penamaan untuk suku ini disebut Dayak. Di mana kata 'Daya' dalam bahasa Kanayatn berarti Hulu. Misalnya, "Ampusa’ ka’ mae?" (mau pergi ke mana?) 

Dijawab: "Ampusa’ ka’ daya" (pergi ke hulu). 

Kata Dayak dengan menggunakan huruf 'k' di belakangnya mau membedakan antara wilayah di hulu dan orang yang tinggal di hulu tersebut. Jadi, mereka merupakan suku yang tinggal di hulu-hulu sungai. Namun, kata Daya menjadi 'Dayak' ini menurut beberapa orang dari suku ini dianggap menghina, sehingga pada tahun 1956 muncul kesepakatan untuk tidak menggunakan kata 'k' di belakang kata 'Dayak'. 

Oleh karena itu, mereka cenderung menggunakan kata 'Daya' saja. Namun pada tahun 1992 dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang diadakan oleh Institut Dayakology Research and Development-IDRD (sekarang Institut Dayakologi-ID) di Pontianak, secara sepakat para peserta seminar yang terdiri dari berbagai utusan di seluruh Kalimantan, termasuk negara tetangga kita Sabah dan Serawak, kata 'Daya’ dikembalikan pada penulisan bentuk asalnya yaitu Dayak.

Baca Sungai Landak: Mengalirkan Hidup, Menapaskan Sejarah di Kalimantan Barat

Menurut Nico, "Dari sumber tradisi lisan pada kalangan Dayak yang berbahasa banana’ atau baahe atau badamea-bajare, kata Kanayatn ditemukan dari kata nganayatn. Ngayatan artinya membawa persembahan kepada Jubata. Orang yang membawa persembahan ini disebut orang Kanayatn."

Kanayatn sendiri, suku mayoritas warga Kabupaten Landak, Kalimantan Barat terdiri atas 32 sub subsuku. 

Nico Andas Putra

Lebih lanjut dikemukakan Nico bahwa kata "Kanayatn", atau Kendayan, mulai diperbincangkan dengan munculnya buku yang berjudul ’Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der Kendajan Dajaks van west Borneo tahun 1949. 

Buku ini ditulis oleh seorang misionaris Katolik yang bernama Donatus Dunsalmen OFM Cap., yang gemar mengadakan penelitian mengenai folklore dan lagu-lagu sakral di beberapa kampung seperti Tiang Tanjung, Menjalin, Pak Kumabang dan Ambawang yang berbahasa banana’-baahe. 

 Terungkap pula untuk suku Dayak yang berbahasa Bakati’ Rara oleh Dunsalmen disebut sebagai ’Old Kendayan’ atau ’Kanayatn Tua’ . dari buku ini Dunsalmen sendiri masih menggunakan kata ’Kendayan’ untuk suku Kanayatn.

Nico menejaskan hal itu pada buku ini di halaman 4 - 5.

Dikemukakannya bahwa perubahan kata "Kendayan" menjadi "Kanayatn" sendiri pertama-tama dipopulerkan Dalam MUSDAT (Musyawarah Adat) Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan pesta adat Naik Dango pertama tahun 1986. 

Kata "Kanayatn" semakin dipopulerkan pula dengan munculnya Siaran bahasa Dayak Kanayatn di RRI Regional Pontianak. Institut Dayakologi (dulu bernama IDRD) sejak tahun 1991 dalam setiap terbitannya, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk Majalah Kalimantan Review (lihat Edisi 07 April – Juni 1994), ikut mempopulerkan kata Kanayatn ini untuk penamaan suku Dayak Kanayatn.

Demikianlah Kanayatn berproses. Dari mitos ke logos. (Rangkaya Bada).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url