Cornlis pada Munas II ICDN: Dayak Wajib Merebut Kembali Sejarah yang Dihapus
Cornelis membeberkan fakta Eksploitasi Dayak dari Masa ke Masa. Kredit gambar: Erempespe. |
🌍 LANDAK POST | PONTIANAK: Musyawarah Nasional (Munas) II Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) menjadi titik balik penting dalam perjalanan intelektual Dayak.
Di podium utama Munas yang digelar di Pontianak, dua tokoh utama tampil membedah luka lama yang belum sembuh: Dr. (H.C.) Cornelis, M.H. dan Masri Sareb Putra, M.A., hadir sebagai pembicara kunci dengan tema menggugah: "Eksploitasi Dayak dari Masa ke Masa: Asal-Usul yang Dilenyapkan, Kolonialisme yang Menghisap, dan Orde Baru yang Membajak Borneo."
Sejarah yang Dihapus, Kekayaan yang Dikeruk
Isu yang diangkat bukan sembarang topik. Ia menyentuh inti dari perjalanan panjang eksploitasi terhadap masyarakat Dayak—dimulai dari penafian atas asal-usul mereka, dilanjutkan oleh penindasan kolonial, hingga eksploitasi sistematis oleh negara di era Orde Baru.
"Topik ini mendebarkan sekaligus menggugah," ujar Dr. Willy Midel Yosef, Ketua Umum ICDN. Moderator diskusi, Prof. Adri Paton, menambahkan, “Ini isu krusial yang jarang dibicarakan, padahal dampaknya nyata.”
Cornelis menegaskan pentingnya membuka kembali luka sejarah ini. “Orang Dayak mesti tahu dari mana mereka pernah dijajah, agar tahu titik awal untuk bangkit. Pengelolaan kekayaan Borneo harus kembali ke tangan masyarakatnya sendiri,” katanya.
Rebut Narasi, Bangun Kembali Ingatan Kolektif
Masri Sareb Putra mengingatkan bahwa selama ini kisah tentang Dayak lebih banyak ditulis oleh orang luar. Menurutnya, sudah waktunya narasi itu diganti oleh karya dari para cendekia Dayak sendiri.
“Kalau kita tidak menulis, sejarah dan pengetahuan kita bisa hilang begitu saja,” ujarnya, merujuk pada peringatan Tom Nichols dalam The Death of Expertise.
Baca Landak, Surga Eko-Wisata di Kalimantan Barat
Keduanya menyoroti ketimpangan pembangunan yang meminggirkan masyarakat adat. Hutan yang dirampas, tanah yang dijual, dan budaya yang terpinggirkan dianggap sebagai bentuk kolonialisme baru—lebih senyap, tapi lebih sistematis.
Yang membedakan sesi ini dari biasanya adalah pendekatan ilmiah yang diusung. Baik Cornelis maupun Masri tidak sekadar berbicara di podium. Mereka membagikan makalah ilmiah yang dirancang khusus untuk Munas ini.
“Ini bukan bahan ceramah. Kalau mau bantah, bantah dengan tulisan juga,” ucap Cornelis, tegas.
Dari Pontianak, Gema Perlawanan Intelektual
Forum ini bukan hanya ajang pertemuan. Ia adalah panggung konsolidasi gagasan, tempat benih perlawanan ditanam melalui riset dan tulisan. Dayak bukan sekadar objek pembangunan; mereka menuntut kembali kedaulatan atas tanah, identitas, dan sejarah mereka sendiri.
Baca Menjaga Warisan dalam Keberagaman Alam dan Budaya Binua Landak
Dari Pontianak, suara para pemikir Dayak menggema ke seluruh Borneo. Mereka mengajak masyarakatnya untuk ingat, sadar, dan menulis sejarah mereka sendiri.
-- Rangkaya Bada