Politik Dinasti : Bagaimana Landak?

Cornelis (kanan) dan sang putri, Karol. Mengikuti proses, dimentoring, dan kabapel.

LANDAK POST : Hari-hari terakhir, topik terkait "politik dinasti" sedang jadi topic trending. Bagus saja itu. Terutama jika dipandang dalam konteks kebebasan menyatakan pendapat, berorganisasi, dan menjatuhkan pilihan politik. Tidak mesti serwarna, sebagaimana era paksaan kekuasaan omnipotens Orde Baru yang wajib memilih kuning. 

Selain rakyat kian melek politik, kini cara pemilihan umum --memilih legislatif dan presiden-- berbeda dengan dulu. Sedemikian rupa, sehingga one man one vote sungguh adil. Di mana profesor dan petani setara sebagai zoon politicon, yang memiliki hak suara sama, untuk memilih pemimpinnya.

Untungnya, era digital membuat masyarakat tidak lagi punya hanya satu sumber informasi tunggal sebelum memutuskan. Demikianlah caranya literasi bekerja.

Literasi mencakup banyak aspek. Selain literasi dasar, yakni baca-tulis, ada pula literasi politik.

Kita kini tidak lagi hidup di zaman kerajaan, atau alam monarki [1]. Di mana kekuasaan bersifat absolut, pemerintahan berada di tangan raja. 

Apa pun sabda raja, adalah perintah. Yang dalam khasanah Jawa, dirumuskan dalam peribahasa, “sabda pandita ratu tan kena wola wali". Artinya, apa yang dikatakan raja adalah hukum. Kata-kata raja, sama dengan undang-undang.

Demikian pula dalam hal suksesi tampuk kekuasaan kerajaan. Garis keturunan menjadi patokannya. Anak langsung dari raja atau ratu, otomatis menggantikan kedudukan sang raja/ ratu.

Baca Karolin Margret Natasa: Bukan Dinasti Politik

Era monarki telah lama kita tinggalkan. Memang masih ada beberapa negara yang menganut sistem itu. Namun, kebanyakan tinggal hanya sebagai simbol saja. Sebagai contoh, Inggris, Belanda, Andorra, Maroko, Jepang, Bhutan, Kamboja, Thailand, dan sebagainya.   

Kiranya trah Kennedy dan Bush di Amerika, Bhutto di Pakistan, Macapagal dan Aquino di Filipina serta Gandhi di India pas untuk menjadi patok-duga, pembandingnya. Bahwa sah sah saja anak, cucu, cicit seorang politisian meneruskan jejak langkah dan karier serta mengalirkan darah politik pendahulunya.

Sejarah mencatat bahwa dalam sejarah politik banyak negara, terutama yang memiliki sistem monarki, kepemimpinan politik dan kekuasaan seringkali dipegang oleh keluarga atau garis keturunan tertentu. 

Dalam konteks ini, istilah "dinasti" digunakan untuk menggambarkan suksesi penguasa dari keluarga yang sama, dan kata tersebut dapat memiliki beberapa sinonim seperti "rumah," "keluarga," atau "klan." Pada awalnya, istilah "dinasti" merujuk pada garis keturunan penguasa suatu negara.

Politik dinasti nasional

Pada akhirnya, muncul "pilihan baru" bagi calon presiden dan wakil presiden setelah pasangan Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, yakni pasangan kombinasi tua muda Prabowo-Gibran, tanah air kita menjadi gempar. 

Banyak yang terkejut. Seolah-olah kita sedang menghadapi akhir cerita yang tidak terduga, seperti dalam sebuah cerpen atau novel. Penulis cerita ini benar-benar mahir dalam memainkan seni bercerita. Serta mengaduk-aduk psikologi dan emosi pembaca. 

Kemunculan pasangan presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran pun mendapat sebutan sebagai politik dinasti. Ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah politik dinasti selalu buruk?

Pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Di beberapa kasus, politik dinasti dapat berjalan dengan baik dan diterima oleh mayoritas masyarakat, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat dengan Cornelis. Ada beberapa alasan mengapa politik dinasti bisa diterima dalam konteks tertentu:

  • Pengalaman Keluarga: Salah satu argumen yang bisa digunakan adalah bahwa keluarga yang terlibat dalam politik dinasti mungkin memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mendalam dalam urusan pemerintahan dan politik. Ini bisa menjadi nilai tambah jika anggota keluarga tersebut telah terbukti kompeten.
  • Kontinuitas: Politik dinasti juga dapat dilihat sebagai cara untuk mempertahankan kontinuitas dalam kepemimpinan. Terkadang, kontinuitas ini dianggap penting untuk menjaga stabilitas dalam suatu daerah atau negara.
  • Dukungan Masyarakat: Jika keluarga politik dinasti memiliki dukungan kuat dari masyarakat, hal ini bisa mengindikasikan bahwa mereka melakukan pekerjaan yang baik dalam melayani kepentingan rakyat. Dalam kasus seperti ini, dinasti politik bisa diterima.
  • Namun, penting juga untuk menyadari bahwa politik dinasti dapat memiliki konsekuensi negatif. Misalnya, jika keluarga tersebut menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau mengabaikan kepentingan masyarakat, hal ini bisa merugikan negara dan rakyatnya. Oleh karena itu, penting untuk memiliki kontrol dan mekanisme transparansi yang memadai untuk memastikan bahwa politik dinasti tidak disalahgunakan.

Jadi, jawaban atas pertanyaan kritis "apakah politik dinasti selalu buruk" bergantung pada konteks dan kualitas kepemimpinan yang diberikan oleh keluarga politik tersebut, serta sejauh mana mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan baik dan melayani kepentingan masyarakat.

Politik dinasti di Landak dan Kalimantan Barat

Ada peribahasa "Kade gali', pane diantat. Kade' bai'? Ahe agi' nang dipatakatna'?" dalam konteks konsep "dinasti" dalam politik adalah sangat tepat. 

Peribahasa ini dapat diterapkan untuk menggambarkan dinamika politik di mana seseorang, terutama dalam sistem politik yang mendasarkan kekuasaan pada garis keturunan atau keluarga tertentu, dapat diangkat ke posisi kekuasaan meskipun ada ketidaksetujuan atau rasa takut dari masyarakat atau pemangku kebijakan lainnya.

Sebagai contoh, dalam dinasti politik, seorang individu mungkin diangkat menjadi penguasa atau pejabat tinggi karena kaitan keluarga atau garis keturunannya, meskipun masyarakat atau bahkan pemangku kebijakan lainnya mungkin tidak sepenuhnya setuju atau bahkan takut terhadap pilihan tersebut. Namun, keberhasilan individu ini dalam mempengaruhi kebijakan atau tindakan pemerintah juga sangat tergantung pada kemauan, kompetensi, dan dukungan yang dimilikinya.

Dengan kata lain, peribahasa ini menyoroti bahwa di dalam dinasti politik, menjadi "diantarkan" ke posisi kekuasaan mungkin hanya langkah awal. 

Kekuasaan yang efektif memerlukan kemauan dan dukungan yang kuat, baik dari pemangku kebijakan lainnya maupun masyarakat. Tanpa kehendak yang kuat atau dukungan yang memadai, individu tersebut mungkin tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan atau memengaruhi perubahan yang berarti dalam pemerintahan.

Baca Bupati Landak Masa Ke Masa

Demikianlah adagium dari alam budaya dan pikiran asli Dayak, tanah kelahiran sekaligus ranah pengabdian perempuan bernama lengkap: Karolin Margaret Natasha, sangat pas menjelaskan. Terutama latar belakang serta bagaimana “politik bukan-dinasti” yang ia jalani

Benar bahwa Karol anak kandung politikus senior dan nasional, Drs. Cornelis, S.H., M.H. Namun, ia bukan politisian dadakan. Seorang yang ujug ujug mentas di panggung mahakeras dan panas itu. Lalu tiba-tiba ditunjuk menduduki tempat penting dalam partai. Lalu maju ke Senayan, mewakili rakyat Kalimantan Barat yang raihan suaranya sangat mencengangkan: tertinggi se-Indonesia. Mengalahkan siapa pun. Termasuk Puan Maharani.

Bukan tiba-tiba begitu saja. Melainkan Karol dipersiapkan sejak belia, oleh sang ayah, untuk berkancah dan bertarung di panggung politik. Sangat keras. Namun, ia bisa lentur bermain-main di gelombang pasangnya. Karena dimentori sang ayah tadi.

Kiranya trah Kennedy dan Bush di Amerika, Bhutto di Pakistan, Macapagal dan Aquino di Filipina serta Gandhi di India pas untuk menjadi patok-duga, pembandingnya. Bahkan trah Soekarno di negeri kita, dapat dikatakan politik dinasti juga. 

Bahwa sah sah saja anak, cucu, cicit seorang politisian meneruskan jejak langkah dan karier serta mengalirkan darah politik pendahulunya. Dengan catatan: asalkan melalui, dan mengalami proses. Kompeten. Punya kemauan keras untuk “menjadi”. Dan, seperti pepatah petitih Kanayatn tadi: mau!

Dalam hal dunia politik ini, bagaimanapun sang ayah memaksakan kemauan kepada sang anak, tapi kalau yang bersangkutan tidak mau, tetap saja tidak bisa. 

Syarat pertama adalah bahwa sang anak: mau. 

Bagaimana menjadi politisian yang andal, dan sukses, itu perkara “diantat”. Bukan sekadar dalam arti harfiah, diantar ke panggung politik, melainkan dipersiapkan sejak dini dengan matang. (Rangkaya Bada)

Catatan akhir:

[1] Asal usul kata dari bahasa Yunani “monarkhia” . Yang arti harfiahnya adalah: kekuasaan berada di satu tangan. Dengan demikian, biasanya putra atau putri mahkota, atau siapa saja yang dikehendaki oleh raja.

[2] Kamus mendefinisikan dinasti sebagai, “a succession of people from the same family who play a prominent role in business, politics, or another field.” Jadi, maknanya netral, bahkan baik baik saja. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url