Orang Dayak: Jaga Hutan Adatmu, Nanti Diambil Alih Negara
Hutan adat bukan hutan negara. Sumber: Mongabay.
Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang menyebutkan bahwa "semua tanah adalah milik negara" telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat adat, khususnya suku Dayak.
Meskipun kemudian beliau meminta maaf dan menyebut
pernyataannya sebagai candaan, dampaknya telah menimbulkan pertanyaan mendalam:
siapa yang lebih dulu ada, negara atau adat?
Polemik Pernyataan Nusron Wahid
Pada awal Agustus 2025, Nusron Wahid membuat pernyataan yang
menyatakan bahwa seluruh tanah rakyat adalah milik negara. Pernyataan ini
memicu polemik di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat adat yang merasa
hak-haknya terancam. Menanggapi reaksi tersebut, Nusron kemudian meminta maaf
dan menyebut pernyataannya sebagai candaan yang tidak tepat dan tidak pantas
disampaikan oleh pejabat publik .
Namun, banyak pihak yang menilai bahwa pernyataan tersebut
mencerminkan pandangan yang tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas tanah
dan hutan mereka. Akademisi dari Universitas Gadjah Mada menilai bahwa tafsiran
Nusron bertentangan dengan konstitusi, di mana rakyat tetap pemilik tanah,
sementara negara diserahi mandat untuk menjalankan perlindungan hak-hak
tersebut .Tempo
Jejak Sejarah Suku Dayak di Borneo
Suku Dayak telah mendiami Pulau Borneo selama ribuan tahun,
dengan bukti arkeologis yang menunjukkan keberadaan mereka sejak 40.000 tahun
lalu. Mereka adalah penjaga hutan yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
ekosistem dan keberlanjutan alam. Hutan adat bagi mereka bukan hanya sumber
kehidupan, tetapi juga bagian dari identitas dan spiritualitas mereka.
Dalam hukum adat Dayak, hutan dipandang sebagai entitas
hidup dan sakral. Karena itu, pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati
demi menjaga keseimbangan ekosistem . Praktik pengelolaan hutan berbasis
kearifan lokal telah lama dijalankan masyarakat adat melalui sistem hutan
keramat dan tabu lingkungan, tanpa perlu intervensi negara .Krajan+1Mongabay.co.id+1
Hutan Adat: Antara Negara dan Adat
Hutan adat di Indonesia mengalami perubahan status hukum
yang signifikan. Sebelumnya, hutan adat dianggap sebagai bagian dari hutan
negara. Namun, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012, hutan
adat diakui sebagai hutan hak milik masyarakat hukum adat, bukan lagi milik
negara .
Meskipun demikian, implementasi pengakuan hutan adat masih
menghadapi tantangan. Banyak masyarakat adat yang belum memperoleh pengakuan
formal atas wilayah adat mereka. Selain itu, terdapat tumpang tindih antara
kawasan hutan adat dengan izin-izin usaha seperti pertambangan dan perkebunan,
yang seringkali mengancam keberlanjutan hutan adat .Mongabay.co.id
Krayan menolak klain Hutan Negara
Di wilayah Krayan, Kalimantan Utara, masyarakat Dayak
Lundayeh secara tegas menolak klaim negara atas hutan adat mereka. Di depan
rumah-rumah penduduk, terpasang tulisan: "Hutan adat bukan hutan
negara". Ini adalah bentuk protes terhadap upaya negara yang dianggap
mencoba menguasai wilayah adat mereka tanpa persetujuan .berita BRWA
Masyarakat Krayan menegaskan bahwa mereka adalah pemilik sah
atas hutan adat mereka dan menuntut pengakuan serta perlindungan hak-hak
mereka. Penolakan ini juga mencerminkan keinginan mereka untuk mempertahankan
identitas budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Pernyataan Nusron Wahid, meskipun kemudian diklarifikasi sebagai candaan, mencerminkan ketidakpahaman terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya dialog dan pemahaman yang lebih dalam antara negara dan masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam.
Pengakuan terhadap hutan adat bukan hanya soal legalitas,
tetapi juga soal menghormati sejarah, budaya, dan identitas masyarakat adat.
Kedepannya, diharapkan ada kesadaran dan komitmen dari semua
pihak untuk menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk dalam hal pengelolaan
hutan adat. Hanya dengan demikian, kita dapat mencapai keseimbangan antara
pembangunan dan pelestarian budaya serta lingkungan hidup.
Penulis: Sidi Gagas