Cornelis yang tak Pernah Pensiun Jadi Pemimpin

Cornelis  yang ak Pernah Pensiun Jadi Pemimpin
Cornelis pemimpin yang datang dari rakyat. Dok. Cornelis.

 
🌍 LANDAK POST | LANDAK: Hari itu, 72 tahun lalu.  
27 Juli 1953. Seorang bayi laki-laki lahir di tengah rimba Borneo. Ia kelak dikenal sebagai “kaisar” Dayak. Bukan karena mahkota, tetapi karena kharismanya. Namanya: Cornelis. Ia ditakdirkan untuk memimpin.

Kini, ia bukan lagi Gubernur. Jabatan formal itu telah usai sejak 2018. Tapi Cornelis tidak pernah pensiun sebagai pemimpin. Ia tetap hadir, berdiri, dan berjalan bersama rakyatnya.

Bukit Cornelis

Pagi itu, sebuah Land Cruiser berwarna biru abu-abu meluncur pelan melewati gerbang besi bertulis.  Ia menjadi sosok sentral dalam sejarah modern orang Dayak. 

Namanya Cornelis. Seorang pemimpin dengan watak keras, kharismatik, sekaligus bersahaja. Seorang urakng diri’ sejati, anak rimba yang meniti jalan pemimpin. 

Ketika sebagai juru-antar surat, kemudian camat, tak ada tanda-tanda awal bahwa ia akan memimpin jutaan orang. Tapi sejarah mencatatnya demikian.

Baca Cornelis: Dayak Harus Bergerak Rebut SDA dan Kehormatan di Borneo

Kini, kita hidup di era Dayak Maju—sebuah masa kebangkitan kultural dan politik Dayak. Di tengah geliat itu, nama Cornelis tak pernah tenggelam. Ia bukan sekadar bagian dari sejarah; ia menjadi tapak jejak dan arah kompas.

Sebuah bukit di Landak, tepatnya di kawasan Ngabang, diberi nama Bukit Cornelis. Bukan pencitraan. Bukan nama yang ditempel-tempelkan demi hormat palsu. Tapi benar-benar bukit itu berada di atas tanah milik pribadi Cornelis. Dikenal sebagai Taman Bukit Cornelis. Dan perumahan itu jadi laku.

Perlahan, gerbang besi berwarna hitam menganga perlahan. Mobil Land Cruiser biru abu-abu masuk dengan tenang. Halamannya luas. Sejuk dan hijau oleh pepohonan tua, rerumputan, dan aneka bunga tropis. Di sinilah sang kaisar kembali setiap hari— bukan untuk menikmati pensiun mewah, tapi untuk turun ke sawah. Berkeringat, menanam, membajak. Seperti orang kebanyakan.

Cornelis baru saja kembali dari lahannya di Takiung, Desa Sidas, Kecamatan Sengah Temila. Di sinilah ia merawat padi-padi yang ditanam bukan hanya untuk panen, tapi sebagai warisan nilai.


“Kalau Dayak tidak bersawah, tidak layak ikut Naik Dango!” katanya suatu kali di hadapan khalayak, saat acara adat. Nadanya meninggi. Ia manas, bukan marah, tapi greget. Marah yang menyimpan cinta.

Cornelis tahu betul, jika orang Dayak berhenti menanam padi, maka berhentilah mereka menjadi Dayak. Karena ladang dan sawah bukan sekadar ekonomi; itu akar budaya. Dango bukan hanya gudang padi, tapi simbol ketahanan, ketekunan, dan kemandirian.

Yang menarik, nama Cornelis pernah terukir dalam sejarah kolonial. Di Jakarta tempo dulu, tepatnya di Jatinegara-Matraman, pernah ada wilayah bernama Meester Cornelis—diambil dari nama seorang pengacara Belanda abad ke-17. Kini tempat itu menjadi bagian dari kenangan sejarah kota. Tapi yang di Landak ini lain. 

Bukit Cornelis di Ngabang bukan peninggalan kolonial. Ini bukit orang Dayak. Bukit pemimpin sejati. Bukan Meester dari Batavia, tapi urakng diri’ dari Borneo.

Baca Landak: Mayoritas Kristen, IPM Sedang, dan Identitas Dayak yang Kuat

Tak sedikit orang kehilangan jati diri saat tak lagi menjabat. Terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Tapi tidak Cornelis. Ia tetap pemimpin. Bahkan setelah tidak lagi menjadi Gubernur Kalim.

Dayak wajib bersawah-ladang

“Saya ini pernah manas,” katanya sambil terkekeh, mengacu pada momen saat dirinya naik darah dalam acara Naik Dango.
"Barang siapa tidak bersawah-ladang, tidak pantas ikut Naik Dango!" serunya waktu itu. Nada bicara tinggi. Tegas. Tapi bukan marah, hanya gereget—manas, dalam bahasa Kanayatn.

Bagi Cornelis, bertani bukan sekadar kerja. Itu identitas, budaya, dan martabat Dayak.

"Kalau orang Dayak tidak lagi menanam padi, ia kehilangan jatidirinya," katanya lugas.

Cornelis menyinggung soal dango—lumbung padi Dayak—sebagai simbol ketahanan pangan dan semangat menabung.

Cornelis tahu betul, budaya adalah fondasi peradaban. Dan pemimpin yang tak membela akar budayanya, cepat atau lambat akan tercerabut dari sejarah bangsanya.

Dalam banyak kasus, tak sedikit bekas pejabat terjebak dalam post power syndrome—merasa tak lagi dihargai ketika tak lagi menjabat. Tapi Cornelis tak ambil bagian dalam ironi itu. Ia tak mencari kekuasaan, karena ia sendiri adalah sumber pengaruh.

Pemimpin bukan penguasa

Pemimpin, mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang menuntun, membimbing, menunjukkan jalan. Cornelis melakukannya—tanpa seremoni, tanpa jabatan. Ia memimpin dengan keteladanan dan pengaruh personal.

Ia tak hanya hadir di podium, tapi juga di pematang sawah. Ia tak hanya bicara tentang adat dan budaya, tapi juga hidup di dalamnya.

Maka jangan heran jika sebagian masyarakat menyebutnya Presiden Dayak—bukan sekadar simbolik, tapi karena sekitar 8 juta orang Dayak di seluruh dunia merasa diwakili olehnya. Ia bicara dengan bahasa hati dan roh leluhur.

Baca Menjaga Warisan dalam Keberagaman Alam dan Budaya Binua Landak

Kharisma tidak diwariskan. Ia lahir dari perjalanan panjang, luka, keberanian, dan keteguhan memegang prinsip.
Bung Karno pernah bilang: "Pemimpin besar hanya lahir dalam momen besar."

Setelah Bung Karno, kita seperti haus tokoh berkkarisma.
Setelah Cornelis, semoga kita tidak krisis pemimpin Dayak. Karena bangsa yang besar tidak hanya butuh birokrat, tapi pemimpin yang mengakar dan menginspirasi. 

Seperti dia, sosok pemimin-Dayak yang lahir 72 tahun lalu.

-- Masri Sareb Putra



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url