Cornelis Mengajak Dayak Mengubah Mindset : Dari Kayau ke Kolaborasi
Cornelis mengajak Dayak mengubah mindset: dari kayau ke kolaborasi. Dokpri.
🌍 LANDAK POST | LANDAK: Sejarah bukan hanya tentang siapa yang pernah berkuasa, tapi bagaimana ingatan kolektif suatu bangsa membentuk dirinya sendiri dari waktu ke waktu.
Di Borneo, terutama di dataran tinggi dan lembah-lembah hening Kalimantan Barat, nama-nama tua masih berbisik dari bibir ke bibir: Banyuke, Ahe, Kanayatn.
Dikenal sebagai subsuku Dayak yang pemberani, keras kepala, dan tak pernah gentar dalam perang atau ngayau; Dayak Banyuke dihormati karena kegagahan, ditakuti karena keteguhan.
Dari Kayau ke kolaborasi
Tapi zaman berubah, dan keberanian harus menyesuaikan wajahnya. Dulu, para leluhur beradu mandau dan kepala adalah simbol kejayaan.
Kini, ujar Cornelis, bukan zamannya lagi saling menghunus senjata sesama anak Borneo.
Baca Landak: Mayoritas Kristen, IPM Sedang, dan Identitas Dayak yang Kuat
“Dulu kita kayau—saling bunuh, saling tanding. Tapi kini Dayak harus kolaborasi, bukan kompetisi.”
Pernyataan itu lahir bukan dari nostalgia, tapi dari kesadaran akan kebutuhan zaman. Cornelis tidak berkata dari podium adat, tapi dari mimbar politik nasional.
“Saya dengan Masri dari Jangkang, kami kolaborasi,” tambahnya. “Bersama kami menulis, mendokumentasi, menerbitkan. Menyuarakan Dayak bukan dengan teriakan, tapi dengan kerja konkret.”
Kayau yang lama adalah perlawanan terhadap musuh dari luar. Kayau hari ini adalah perjuangan melawan ketertinggalan, kemiskinan, dan lupa-diri.
Senayan dan suara dari pinggiran
Cornelis tahu, identitas tidak cukup sekadar dirayakan; ia harus diperjuangkan dalam sistem. Maka dari Senayan, Cornelis tidak hanya menjadi juru bicara Dayak. Ia menjadi penyeru keadilan. Tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan, Cornelis bicara lantang: bahwa tanah Kalimantan bukanlah ruang hampa, melainkan ruang sejarah yang dihuni ribuan tahun.
Baca Bupati Landak Masa ke Masa: Cermin Kemandirian Kepemimpinan Lokal
“Jangan abaikan suara kami,” ujarnya, bukan sebagai retorika, tapi sebagai peringatan.
Ia menuntut agar pembangunan tidak melukai, agar modernisasi tidak berarti penghapusan memori lokal. Dalam hal infrastruktur, ketimpangan, dan alokasi hasil sumber daya alam, ia menyuarakan apa yang selama ini tak terdengar: bahwa dari kayu, batu bara, sawit, dan air, seharusnya bukan hanya pusat yang untung, tetapi juga kampung yang berhak hidup lebih layak.
Namun, ia tahu betul, tidak semua harus dikatakan keras. Ada yang lebih tajam dari teriakan: diam yang bekerja dalam sistem.
Dalam sidang-sidang yang hening, dalam usulan pasal, dalam rancangan anggaran, Cornelis menyisipkan kepentingan Dayak seperti benih yang diam-diam tumbuh.
Panglima tanpa mandau
Maka di antara banyak politisi yang berlalu seperti angin, Cornelis hadir seperti akar: tak terlihat, tapi menguatkan pohon. Ia adalah panglima dalam rupa baru—tanpa mandau, tanpa sorak-sorai pertempuran, tapi dengan ketekunan membelah birokrasi dan regulasi.
Baca Piet Pagau : Hidup dari Seni Peran sebagai Dayak Ganteng
Keberanian kini tak selalu tampak. Cornelis bisa berbentuk kolaborasi. Bisa hadir dalam paragraf Undang-Undang. Bisa tumbuh dalam buku, jurnal, dan suara literasi.
Dan barangkali, di sanalah letak kekuatan sejati seorang Dayak hari ini: bukan lagi dengan memburu kepala, tapi menyelamatkan generasi.
-- Rangkaya Bada