Landak en Tajan Kembar Siam dalam Narasi dan Publikasi Bangsa Kolonial

Pawai kepercayaan dan adat budaya orang Landak pada Naik Dango di Menjalin, era 1980-an. Dok. Landak Post.

LANDAK POST : Landak pada masa lalu adalah sebuah wilayah yang sering kali dikembarkan bersama dengan Tayan. Terutama dalam risalah, publikasi, dan catatan kolonial. 

Banyak karya sejarah dan dokumentasi dari era tersebut, seperti karya M.C. Schadee. Yang secara tegas menggabungkan "Landak en Tajan" karena dianggap sebagai satu kesatuan geografis dan budaya yang saling terkait.

Namun, perlu dicatat bahwa perubahan dalam tata pemerintahan dan administrasi wilayah sering kali dipengaruhi oleh faktor politik. Pusat pemerintahan kabupaten Landak mungkin telah ditentukan oleh pertimbangan politik pada masa tersebut, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan realitas geografis atau budaya di lapangan.

Situasi ini mungkin berlanjut hingga masa kemerdekaan, di mana wilayah administratif Tayan tetap berada di bawah pemerintahan kabupaten Landak. Hal ini adalah hasil dari kebijakan administratif dan politik yang diambil pada saat itu, dan keputusan tersebut mungkin telah mempertimbangkan berbagai faktor seperti geografi, populasi, dan pertimbangan politik lainnya.

Baca Kabupaten Landak: Riwayatmu Ini!

Perubahan dalam administrasi wilayah adalah hal yang umum terjadi dalam sejarah. Dan sering kali berkaitan dengan dinamika politik dan pemerintahan. Tarik-menarik kepentingan tampak dari hasil akhirnya. Di mana pusat pemerintahan itu berada, di sanalah the real power itu berada.

Meskipun pada saat ini Tayan merupakan bagian dari Landak dalam tata administrasi, penting untuk tetap memahami sejarah dan budaya unik dari kedua wilayah tersebut secara terpisah. Hal ini membantu kita untuk menghormati dan memahami keragaman budaya serta latar belakang sejarah yang mungkin berbeda antara keduanya.

Kepercayaan Landak en Tajan Masa Lalu

Kini mayorotas Katolik di Landak dan sebagian besar di Tayan penganut Islam dan Protestan. Di era kolnial kepercayaan Landak en Tajan disebut "Shammanisme", meski tidak tepat secara faktual. Yang benar adalah "Agama Asli Lokal" sebagaimana teori yang diperkenalkan Bakker (1971) untuk menyebut kepercayaan alsi lokal, autokton, yang tidak dicampuri atau dimasuki oleh unsur-unsur luar seperti agama impor.

Kita perlu selalu mengingat bahwa karya-karya seperti ini adalah catatan dari masa lalu. Dokumen sejarah yang merekam kehidupan suku Dayak pada saat M.C. Schadee mengumpulkan informasinya. 

Suku Dayak, sebagai pemangku sekaligus pewaris Borneo, pulau terbesar ke-3 di dunia dengan luas 743.330 km², telah menjadi subjek salah persepsi yang berkepanjangan.

Baik pelancong, peneliti, maupun penjajah, tampaknya sulit untuk benar-benar memahami keragaman etnis yang terdiri dari 7 rumpun besar dan 505 subsuku. Fenomena ini sebagian besar dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor penting yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, perbedaan budaya dan pemahaman dunia antara suku Dayak dan mereka yang berasal dari luar wilayah mereka merupakan hambatan utama dalam mengatasi prasangka dan mispersepsi. 

Orang luar sering kali membawa dengan mereka sudut pandang, keyakinan, dan norma budaya mereka sendiri, yang mungkin bertentangan atau tidak sesuai dengan budaya dan cara hidup suku Dayak. Ini dapat membangun interpretasi yang salah, atau bias, terhadap perilaku dan tradisi Dayak.

Kedua, pada masa lalu, ketika kontak antara suku Dayak dan orang luar pertama kali terjadi, suku Dayak belum mengenal habitus literasi secara luas. Ini berarti bahwa tidak ada narasi resmi yang mampu mengimbangi atau setidaknya meluruskan persepsi negatif atau salah tentang mereka. Ketidakmampuan untuk menyampaikan cerita mereka sendiri secara tertulis meningkatkan kerentanannya terhadap stereotip yang tidak akurat.

Namun, penting untuk mencatat bahwa karya seperti yang ditulis oleh M.C. Schadee, seorang Kontrolir Pamong Praja pada masa Penjajahan Belanda, seperti Bijdrage tot de Kennis van den Godsdienst der Dayaks van Landak en Tajan, memberikan pandangan "ala barat" tentang kehidupan suku Dayak. 

Karya semacam itu lumayan baik sebagai arsip. Namun, wajib untuk dikritisi lagi. Terutama mencakup aspek-aspek budaya, keagamaan, dan praktik kehidupan sehari-hari mereka. 

Baca Landak

Meski demikian, "buruk buruk papan jati". Ada gunannya juga. Salah satu temuan penting adalah catatan Schadee ini. Yaitu bagaimana suku Dayak menghadapi penyakit dan praktik penyembuhan mereka yang melibatkan unsur-unsur roh dan dewa-dewa, mencerminkan pandangan dunia yang kompleks dan bervariasi.

Inisiatif seperti terjemahan karya Schadee oleh Yayasan Idayu ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan adalah langkah positif dalam memperkenalkan lebih banyak orang pada pandangan yang lebih akurat tentang suku Dayak. Hal ini membuka pintu untuk pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan dan kepercayaan mereka, dan membantu mengatasi prasangka yang tidak berdasar terhadap mereka.

Kita perlu selalu mengingat bahwa karya-karya seperti ini adalah catatan dari masa lalu. Dokumen sejarah yang merekam kehidupan suku Dayak pada saat M.C. Schadee mengumpulkan informasinya. 

Kehidupan suku Dayak di masa lampau telah mengalami perubahan yang drastis. Ini catatan sejarah. Maka penting bagi kita untuk terus memahami dan menghormati sejarah dari keragaman budaya dan kepercayaan yang ada di Kalimantan, serta tidak mengandalkan stereotip yang tidak benar. 

Tantangan yang harus dijawab Dayak hari ini. Yakni "menulis dari dalam", agar orang luar mafhum kebenaran yang sejati.

Kanal berita dan informasi yang sedang Anda baca ini, salah satu ujud bagian dari menulis Dayak dari dalam. (Rangkaya Bada).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url