Naik Dango, Upacara Syukur Panen dari Leluhur Dayak Kanayatn

 

Naik Dango, Upacara Syukur Panen dari Leluhur Dayak Kanayatn
Naik Dango: ritual upacaranya byAI.

🌍 LANDAK POST | LANDAK:  Di penghujung April setiap tahun, suasana Dusun Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, berubah menjadi semarak. 

Lelaki dan perempuan mengenakan busana tradisional Dayak Kanayatn, dengan ikat kepala khas, manik-manik berwarna terang, dan irama gong yang mengalun sejak pagi. 

Baca Landak: Mayoritas Kristen, IPM Sedang, dan Identitas Dayak yang Kuat

Penduduk berkumpul di rumah radakng, rumah panjang khas Dayak, menyambut datangnya hari yang mereka nanti-nantikan: Naik Dango.

Naik Dango bukan sekadar festival budaya. Ia adalah napas spiritual masyarakat Dayak Kanayatn. Sebuah upacara adat yang telah diwariskan dari leluhur sebagai bentuk syukur kepada Jubata — Sang Pencipta dalam kosmologi Dayak — atas hasil panen padi. Ritual ini juga menjadi penanda akan dimulainya masa tanam yang baru.

Asal-Usul dari Gunung Bawang

Menurut tuturan tetua adat, asal-usul padi yang kini menjadi makanan pokok orang Dayak bermula dari puncak Gunung Bawang, sebuah tempat sakral bagi masyarakat Kanayatn. 

Alkisah, seekor burung pipit mencuri setangkai padi dari ladang milik Jubata. Padi itu kemudian jatuh ke tangan Ne Jaek, seorang manusia yang saat itu tengah mengayau.

Baca Cornelis Bersuara Lirih, Bekerja Nyata di Senayan

Padi itu lalu dibawa pulang dan ditanam. Sejak saat itu, masyarakat Talino — sebutan bagi manusia — mengenal padi sebagai sumber kehidupan. "Ini bukan mitos biasa. 

Cerita ini diwariskan sebagai pengingat bahwa makanan, terutama padi, berasal dari kebaikan Tuhan dan harus dihargai, tidak disia-siakan," kata Dominggus Sabang, salah satu timang atau pemuka adat di Saham.

Prosesi Sakral: Dari Lumbung ke Langit

Rangkaian upacara Naik Dango tidak sembarangan. Seminggu sebelumnya, keluarga-keluarga di kampung sudah mulai menyiapkan sesajen dan makanan tradisional. 

Salah satunya adalah batutu’, beras ketan yang dimasak dalam bambu dan dibakar. Ada juga tumpi, roti dari tepung beras yang digoreng, serta tuak, hasil fermentasi ketan sebagai minuman persembahan.

Baca Landak, Surga Eko-Wisata di Kalimantan Barat

Pada hari pelaksanaan, semua hasil bumi dan makanan itu dibawa ke dango — lumbung padi suci yang dibangun secara khusus. Di sana, tetua adat memimpin nyangahatn, doa bersama memohon perlindungan dan berkah kepada Jubata agar musim tanam berikutnya tetap subur dan masyarakat dijauhkan dari marabahaya.

"Naik Dango bukan hanya soal panen. Ini adalah komunikasi antara manusia dengan alam, dan dengan arwah para leluhur," ujar Nico Andas Putra, budayawan muda asal Kanayatn.

Puncak acara disebut tingkakok nimang padi. Dalam prosesi ini, perempuan-perempuan muda membawa padi hasil panen dan menari sambil mengaraknya menuju lumbung, diiringi bunyi gong dan gendang. Di akhir tarian, kepala suku akan mengayunkan pedang kecil ke langit sebagai simbol pembukaan musim tanam baru.

Simbol Ketahanan dan Identitas

Di tengah arus modernisasi dan industrialisasi yang masuk hingga ke pedalaman Borneo, Naik Dango tetap bertahan sebagai pengikat komunitas Dayak Kanayatn. Acara ini bukan hanya mengundang masyarakat lokal, tapi juga diaspora Dayak, peneliti, dan wisatawan mancanegara yang ingin melihat langsung jejak kebudayaan agraris yang lestari.

"Upacara ini adalah bukti bahwa kami masih berpegang pada akar. Padi bukan sekadar tanaman. Ia adalah perwujudan dari hidup itu sendiri," kata Cornelis, Gubernur Kalbar pperiode 2008 - 2018 dan kini DPR RI Dapil I Kalbar, orang Kanayatn asli.

Pemerintah daerah dan tokoh adat kini bersinergi untuk menjaga kesinambungan tradisi ini, bahkan menetapkan 27 April sebagai Hari Adat Naik Dango Provinsi Kalimantan Barat. 

Pelestarian juga dilakukan melalui pendidikan adat, revitalisasi bahasa, serta dokumentasi audio-visual di berbagai kampung Kanayatn.

Baca Potensi Ekonomi Kreatif Kabupaten Landak

Naik Dango adalah pelajaran penting tentang bagaimana manusia berelasi dengan alam, waktu, dan komunitas. 

Naik Dango bukan sekadar seremoni, tetapi peta nilai dan filosofi hidup yang mengakar kuat dalam masyarakat Dayak Kanayatn. 

Di tengah perubahan iklim dan krisis pangan global, tradisi ini mengingatkan bahwa hidup selaras dengan alam adalah jalan bijak yang tak boleh dilupakan.

-- Rangkaya Bada

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url