Shamanisme, Kepercayaan Orang Dayak di Landak dan Tayan Tempo Dulu

Penampakan rumah orang Dayak masa lampau. Landak Post.

Landak dan Tayan adalah dua wilayah yang selalu berdampingan dalam berbagai karya tulis dan publikasi asing di masa lampau. 

Kedua wilayah yang berada di Borneo Barat ini memiliki banyak kesamaan, baik dalam hal geografi, demografi, keadaan alam, maupun sistem kepercayaan yang dianut oleh penduduk setempat. 

Salah satu literatur asing yang membahas tentang hal ini adalah karya yang ditulis oleh Schadee, yang mengungkapkan bahwa suku Dayak di Landak dan Tayan pada masa lalu sebelum mereka mengenal agama Katolik, Kristen, dan Islam, menganut kepercayaan Shamanisme.

Baca Landak En Tajan Kembar Siam Dalam Narasi Dan Publikasi Bangsa Kolonial

Kedua wilayah ini memiliki kesamaan geografis, karena letak geografisnya yang berdekatan, sehingga unsur-unsur alam seperti sungai, hutan, dan gunung memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat di sana. Selain itu, demografi penduduknya juga cenderung serupa, dengan adat dan budaya yang kental di dalam masyarakat.

Salah satu hal yang paling menarik adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat sebelum masuknya agama-agama besar. 

Shamanisme adalah keyakinan utama yang mendominasi wilayah ini. Para shaman atau dukun lokal memiliki peran penting dalam masyarakat, karena mereka dianggap memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh dan mengobati penyakit.

Karya Schadee dan literatur asing lainnya memberikan gambaran yang menarik tentang kesejarahan dan budaya kedua wilayah ini. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan budaya dan sejarah lokal serta bagaimana agama dan kepercayaan dapat mengubah dinamika sosial dan budaya dalam suatu wilayah.

Baca Dayak Kanayatn Menurut Nico Andas Putra

Tulisan W. Tromp dan Dr. A.F. de Han mengenai upacara dan perayaan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat merupakan sumber berharga dalam memahami budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Tulisan W. Tromp yang terdapat dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederland Indie memberikan wawasan mendalam mengenai upacara dan perayaan yang menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Dayak. Ini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari upacara adat, ritual keagamaan, hingga perayaan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Dayak. Tulisan tersebut mungkin berisi deskripsi rinci, makna, dan konteks budaya di sekitarnya.

Sementara itu, pengalaman pribadi Dr. A.F. de Han dalam daerah Kalimantan Barat yang diabadikan dalam terbitan berkala Eigen Haard pada tahun 1892 juga memberikan sudut pandang yang berbeda. 

Pengalaman pribadi dan interaksi seorang peneliti atau pelancong dapat memberikan wawasan yang lebih subjektif dan pribadi tentang budaya dan tradisi yang diamati. Ini bisa mencakup cerita perjalanan, interaksi dengan penduduk setempat, dan pengalaman langsung dengan perayaan atau upacara Dayak.

Baca Kabupaten Landak: Riwayatmu Ini!

Kedua sumber ini dapat membantu para peneliti, sejarawan, dan antropolog dalam memahami lebih dalam budaya dan tradisi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat pada masa tersebut. Mereka juga menjadi bukti historis yang berharga dalam memelihara dan memahami warisan budaya yang kaya dan beragam di wilayah tersebut.

Upacara dan Ritual Dayak hari ini

Sebelum agama-agama asing memasuki Indonesia, masyarakat di kepulauan ini telah mengamalkan sistem kepercayaan yang berakar pada tradisi lokal masing-masing. 

Kepercayaan ini mencerminkan agama asli masyarakat Indonesia, dan setiap suku bangsa memiliki sistem keagamaan yang unik. Namun, dengan kedatangan agama-agama global dari luar seperti Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Kristen, terjadi pergeseran lambat dalam sistem kepercayaan masyarakat.

Penerimaan agama Katolik oleh mayoritas penduduk Landak mengakibatkan penggantian kepercayaan asli Dayak (autokton) dengan agama "alokton," atau agama dari luar. Agama Katolik yang diterima oleh penduduk setempat menjadi bagian penting dari identitas dan kehidupan sosial mereka pada hari ini menjadi inkulturasi yakni kehadiran adat budaya setempat dalam wajah Gereja.

Masuknya agama-agama global ini secara bertahap menggantikan sistem kepercayaan masyarakat Indonesia yang telah ada sejak lama. Hal ini mengakibatkan jumlah penganut dan pengaruh agama lokal semakin menurun, sementara agama-agama baru tersebut semakin dominan. Proses ini tidak hanya mempengaruhi aspek keagamaan, tetapi juga menguasai berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik melalui institusi-institusi yang terkait dengan agama-agama tersebut.

Akibatnya, untuk mempertahankan eksistensinya, beberapa agama lokal di Indonesia terpaksa berintegrasi dengan salah satu agama yang diakui oleh negara. Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang lebih baik. 

Sebagai contoh, pada tanggal 19 April 1980, sejumlah tokoh pemimpin Kepercayaan lokal di Kalimantan Tengah melakukan pendekatan dengan tokoh agama Hindu di Denpasar, Bali, dan Jakarta. 

Hasil dari upaya penyatuan dan mencari induk ini adalah integrasi Kepercayaan lokal dengan Agama Hindu, yang kemudian dikenal sebagai Hindu Kepercayaan lokal.

Tindakan ini mencerminkan kompleksitas dinamika agama di Indonesia, di mana agama-agama asli bersaing dengan agama-agama global yang datang dari luar. Pada saat yang sama, ini juga mencerminkan keragaman budaya dan keagamaan yang ada di Indonesia serta bagaimana masyarakat berusaha untuk menjaga identitas kepercayaan mereka dalam menghadapi perubahan zaman dan pengaruh global.

Kepercayaan Dayak di Landak dan Kalimantan Tengah

Perbedaan dalam integrasi agama asli Dayak di Kalimantan Tengah dan Landak di Kalimantan Barat mencerminkan variasi dalam perjalanan agama di berbagai wilayah di Indonesia.

Di Kalimantan Tengah, kepercayaan asli Dayak yang dikenal sebagai Kaharingan berhasil terintegrasi dengan agama Hindu Bali. Hal ini menciptakan varian agama yang sering disebut sebagai "Hindu Bali." 

Integrasi tersebut terjadi melalui berbagai proses sejarah, seperti melalui interaksi budaya, pernikahan campuran, dan adaptasi unsur-unsur agama Hindu ke dalam sistem kepercayaan asli Dayak. Hasilnya adalah agama yang mencerminkan harmonisasi antara elemen-elemen agama Hindu dan tradisi Dayak yang kaya.

Di Landak, sebaliknya, sejarah perubahan agama masyarakat Dayak memiliki pola yang berbeda. Masuknya misi Katolik dari Ordo Kapusin pada tahun 1905 di Kalimantan Barat merupakan titik awal bagi perubahan besar dalam sistem kepercayaan di tanah Landak dan Tayan. 

Penerimaan agama Katolik oleh mayoritas penduduk Landak mengakibatkan penggantian kepercayaan asli Dayak (autokton) dengan agama "alokton," atau agama dari luar. 

Agama Katolik yang diterima oleh penduduk setempat menjadi bagian penting dari identitas dan kehidupan sosial mereka pada hari ini menjadi inkulturasi yakni kehadiran adat budaya setempat dalam wajah Gereja.

Baca Pitalis Mawardi, Ph.D, Meneliti Nilai Kearifan Lokal Dalam Upacara Adat Naik Dango

Proses ini mengilustrasikan bagaimana masuknya agama-agama besar dari luar dapat mengubah secara signifikan lanskap keagamaan dan budaya di suatu wilayah. Meskipun perubahan ini mungkin membawa manfaat dan stabilitas bagi beberapa, itu juga bisa mengakibatkan penghilangan kepercayaan asli dan tradisi lokal. 

Dengan demikian, perubahan agama di Landak mencerminkan bagaimana dinamika agama dan kepercayaan lokal bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal dan perkembangan sejarah yang khas di berbagai wilayah Indonesia.

Perkembangan agama dan kepercayaan di Landak seiring waktu telah mengubah cara masyarakat Dayak mempraktikkan kepercayaan asli mereka. Meskipun masih ada beberapa upacara adat yang bertahan, mereka mungkin lebih berfungsi sebagai ritual dan bagian dari tradisi budaya daripada sebagai sistem kepercayaan yang mendalam. 

Upacara seperti Naik Dango, perkawinan, dan upacara resmi mungkin masih mempertahankan elemen-elemen adat, seperti peralatan dan prosesi tradisional.

Namun, penting untuk dicatat bahwa isi dan kata-kata yang digunakan dalam upacara tersebut telah mengalami transformasi. Mereka telah disesuaikan dengan ajaran iman yang dianut oleh mayoritas penduduk, yaitu agama Katolik. Ini mencerminkan integrasi agama baru ke dalam tradisi adat, yang sering disebut sebagai sinkretisme, di mana elemen-elemen dari agama Katolik digabungkan dengan praktik-praktik tradisional.

Shamanisme bukan Aminisme

Meskipun kepercayaan asli Dayak mungkin telah berubah seiring waktu, upacara-upacara ini tetap memegang peran penting dalam mempertahankan identitas budaya dan warisan lokal masyarakat Dayak di Landak.

Para penulis asing zaman dulu menggambarkan bagaimana agama dan budaya lokal dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan tekanan agama-agama besar dari luar sambil tetap memelihara warisan tradisional yang berharga. Dengan cara ini, masyarakat Dayak di Landak mempertahankan hubungan dengan akar budaya mereka sambil menjalani kehidupan yang mencerminkan perkembangan dan perubahan zaman.

Dalam banyak budaya suku-suku asli di berbagai belahan dunia, terdapat variasi dalam sistem kepercayaan tradisional mereka, dan seringkali berbagai elemen animisme dan shamanisme dapat ada dalam kepercayaan mereka.

Dalam hal ini, jika penelitian dan rekaman menunjukkan bahwa kepercayaan asli suku-suku Dayak Landak dan Tayan melibatkan elemen shamanisme, maka itu adalah informasi berharga yang menggambarkan keragaman kepercayaan tradisional di dalam budaya Dayak. Hal ini menekankan pentingnya memahami budaya suku-suku pribumi secara holistik dan komprehensif, dan bahwa kepercayaan dan praktik spiritual mereka dapat bervariasi di berbagai komunitas dan waktu.

Shamanisme dan animisme adalah dua konsep berbeda dalam bidang spiritual dan kepercayaan. Meskipun keduanya terkait dengan spiritualitas alam dan keberadaan roh, ada perbedaan antara keduanya:

  • Shamanisme: adalah sistem kepercayaan dan praktik spiritual yang melibatkan peran penting seorang shaman atau dukun.Seorang shaman adalah perantara antara dunia manusia dan dunia roh atau dunia gaib. Mereka memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan roh, mengobati penyakit, memandu jiwa yang sudah meninggal, dan memberikan panduan spiritual kepada komunitas mereka.Praktik shamanisme sering melibatkan perjalanan ekstasis, trance, dan ritus-ritus khusus untuk mencapai kontak dengan dunia gaib. Shamanisme dapat ditemukan di berbagai budaya di seluruh dunia, termasuk di antara suku-suku asli di Amerika, Siberia, Asia, dan Afrika.
  • Animisme: adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu, baik benda mati maupun hidup, memiliki roh atau entitas spiritual yang mendiami mereka. Ini mencakup gunung, sungai, pohon, hewan, dan benda-benda alam lainnya.Dalam animisme, segala sesuatu dianggap memiliki kehidupan spiritual dan berinteraksi dengan dunia manusia melalui roh mereka. Animisme cenderung merupakan ciri khas dalam budaya-budaya suku-suku asli di berbagai belahan dunia, dan seringkali menjadi dasar dari kepercayaan dan praktik spiritual mereka.

Meskipun shamanisme dan animisme seringkali terkait dan mungkin tumpang tindih dalam beberapa aspek, shamanisme adalah lebih kepada praktik spiritual yang melibatkan peran khusus seorang shaman, sementara animisme adalah pandangan dunia yang mencakup kepercayaan pada roh atau entitas spiritual dalam segala hal.

Inkulturasi

Proses inkulturasi dalam Gereja Katolik di Landak adalah contoh yang menarik dari bagaimana agama-agama besar dapat mengintegrasikan elemen-elemen budaya dan tradisi lokal ke dalam praktik keagamaan mereka. Meskipun secara administratif tergabung dalam Keuskupan Agung Pontianak, Gereja Katolik di Landak tetap memelihara sisa-sisa upacara, tradisi, sesajen, dan mantra kepercayaan nenek moyang mereka yang memiliki akar dalam kepercayaan asli Dayak.

Inkulturasi adalah proses di mana unsur-unsur budaya lokal digabungkan dengan agama Katolik. Hal ini menciptakan corak dan nuansa yang sangat Dayak dalam praktek keagamaan. Salah satu contohnya adalah penggunaan lagu-lagu dan syair dalam bahasa setempat yang digunakan dalam ibadah. Hal ini membantu masyarakat Katolik di Landak merasakan kedekatan dan keterlibatan dalam upacara keagamaan mereka dalam bahasa dan gaya yang lebih akrab bagi mereka.

Persembahan, hiasan upacara (seperti altar dan dekorasi gereja), dan bahkan pakaian liturgis mungkin tetap menggunakan motif Dayak. Hal ini mencerminkan penghargaan dan pemeliharaan warisan budaya masyarakat Dayak. Selain itu, proses inkulturasi dalam Gereja Katolik telah memberi warna yang kuat dari budaya Dayak dalam agama tersebut.

Ini bukan hanya sekadar pengekangan unsur lokal dalam agama Katolik, tetapi lebih pada pengakuan dan penguatan identitas budaya masyarakat Dayak dalam konteks agama. Ini adalah upaya untuk mempertahankan akar budaya sambil merayakan keyakinan baru yang mereka anut. 

Dengan demikian, Gereja Katolik di Landak adalah contoh yang baik tentang bagaimana agama dan budaya dapat bersatu dalam cara yang mendalam dan bermakna.

Sedemikian rupa, di dalam prosesnnya menciptakan landasan yang kuat bagi masyarakat Katolik di wilayah tersebut untuk merasakan kedekatan dengan agama dan budaya mereka. 

Proses itu juga menunjukkan bagaimana inkulturasi dapat menghasilkan agama yang lebih inklusif dan menghormati warisan lokal.

Bahwa dahulu kala, orang Dayak melalui ritual, adat, budaya, dan mantra-mantranya "menyembah kepada Tuhan yang belum mereka kenal" sebelum misi Katolik datang ke tengah orang Dayak yang kini mayoritas menganut Katolik dan menerima terang Injil itu.

Dalam buku katekismus berjudul Semangat Kristus terbitan Keuskupan Agung Pontianak yang disusun oleh Franz Xaver Brantschen OFM Cap., dkk. (1981) dengan jelas dan nyata bagaimana kepercayaan nenek moyang suku bangsa Dayak dijadikan "pintu masuk" bagi misi dan pengenalan Injil.

Jadi, nilai-nilai dan kepercayaan lama tidaklah dienyahkan; melainkan disempurnakan.

Hal itu sesuai dengan Sabda Yesus, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya" (Matius 5:17-18).

Dengan demikian, pendekatan untuk "menyempurnakan" dan "menggenapinya" nilai-nilai dan kepercayaan tradisional dapat mencakup upaya untuk menginterpretasi dan memberinya makna kembali dalam konteks modern dan memastikan bahwa nilai-nilai tradisioal tetap relevan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal itu juga dapat mencakup penyelarasan nilai-nilai tersebut dengan perkembangan ilmiah, sosial, dan etis yang terus berubah, sehingga mereka dapat tetap menjadi pedoman yang relevan bagi generasi yang akan datang. 

Dengan cara ini, warisan budaya dan spiritual dapat terus hidup dan berkembang sambil tetap mempertahankan akarnya.

Bukankah itu makna hakiki dari "presentia realis" yang menjadi pokok iman Katolik? Bahwa wajah Tuhan sungguh nyata, tampak, diimani serta dihayati di sini dan di tempat ini?

(Masri Sareb Putra, M.A.)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url